Kelas Perdana English Society Program

Kelas Perdana English Society Program

Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Magelang, mengadakan English Society pada 8 Oktober 2019. English Society merupakan komunitas diskusi berbahasa Inggris. Komunitas ini mewadahi mahasiswa untuk berlatih berbicara berbahasa Inggris.

Selain itu, dengan adanya komunitas ini dapat memupuk atmosfir akademik dalam mempraktekkan komunikasi dengan bahasa inggris. Untuk rencana selanjutnya, English Society akan berlangsung secara rutin setiap hari Selasa pukul 15.30-17.00 WIB. “Ke depan English Society nantinya dapat rutin dilaksanakan sebagai komunitas yang dapat menumbuhkan atmosfir akademik,” ungkap Fadilla Sandy.

Menurut Fadillah Sandy, dosen sekaligus pengelola kegiatan, “English Society ini merupakan tempat berkumpulnya mahasiswa dalam berlatih percakapan dalam bahasa Inggris.”

Gayung bersambut, adanya English Society mahasiswa merasa terbantu dalam belajar dan praktik percakapan berbahasa inggris. “I was very nervous because my ability to speak English was very lack, but finally the conversation became cool because we help each other,” ungkap Annisa Zafira, peserta English Society.

Meskipun diinisiasi oleh Prodi Ilmu Komunikasi, namun acara ini terbuka pula untuk mahasiswa prodi lainnya. Pada acara perdana kali ini turut berpartisipasi pula mahasiswa UMMgl yang berasal dari Prodi Teknik Informatika, Pendidikan Guru Anak Usia Dini (PGPAUD), Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Bimbingan dan Konseling, dan Psikologi.

Englis Society didesain dengan diskusi santai dengan tujuan agar peserta merasa nyaman untuk dapat menyampaikan pendapat dalam bahasa Inggris. “Ketika mengikuti English Society mahasiswa merasa belajar bahasa inggris dengan fun,” papar Lintang Muliawanti, selaku dosen pendamping kedua. (yo/an)

BEKRAF Festival: Belajar ke Rumahnya Pelaku Ekonomi Kreatif

BEKRAF Festival: Belajar ke Rumahnya Pelaku Ekonomi Kreatif

Solo (6/10) – Mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Magelang melaksanakan kuliah lapangan di acara Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Festival 2019 yang bertempat di Benteng Vastenburg, Solo, Jawa Tengah. Dwi Susanti, selaku bidang kemahasiswaan Prodi Ilmu Komunikasi UMMgl memaparkan tujuan dari acara ini ialah agar mahasiswa lebih terbuka dan termotivasi untuk berpikir kreatif untuk menghasilkan sebuah karya. “Tujuannya agar mahasiswa melek bahwa mereka bisa menjadi orang-orang yang sukses dengan sebuah karya kreatif,” paparnya.

Pada tahun ke-3 acara ini mengakat tema “Kita Kaya Karya”. “Kita” merujuk pada program-program BEKRAF untuk memaksimalkan potensi kreatif masyarakat Indonesia serta mendukung lahirnya identitas kreativitas Indonesia yang khas. “Kaya” terinspirasi dari program-program BEKRAF yang mengembangkan potensi ekonomi dari karya-karya kreatif Indonesia, sebagai upaya untuk memajukan ekonomi kreatif agar dapat menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sedangkan “Karya” mengangkat program serta kegiatan BEKRAF yang mengembangkan potensi insan kreatif Indonesia dan mendukung lahirnya karya-karya terbaik bangsa.

BEKRAF Festival merupakan ajang penyampaian, penyajian, pelaporan capaian ragam kinerja Badan Ekonomi Kreatif kepada masyarakat luas. Namun demikian, banyak hal menarik yang bisa dipelajari disini oleh mahasiswa ilmu komunikasi UMMgl. Kegiatan itu di antaranya adalah Workshop, talkshow writerpreneur, OPREK “Operasi Teknik” fotografi, pameran fashion, dan masih banyak lagi. “Dalam kunjunyan ini saya mendapatkan pengetahuan tentang fotografi. Saya senang juga karena tau kuliah tidak harus didalam kelas. Tapi kita juga dapat ilmu melalui kegiatan luar kuliah,” papar Noryl, mahasiswa Ilmu Komunikasi UMMgl.

Lebih lanjut, acara ini juga digunakan sebagai laboratorium sosial prodi yang langsung dapat digunakan sebagai sarana belajar mahasiswa terkait dengan industri kreatif. “Mahasiswa dapat melihat langsung apa yang sedang terjadi di dunia kreatif saat ini. Makanya, kita ke festival Bekraf. Banyak sekali peluang-peluang, pendanaan dari pemerintah yang dapat mereka sasar sesuai dengan minat bakat mereka.”

#GejayanMemanggil: Sebuah Tinjauan Gerakan Sosial dari Perspektif Ilmu Komunikasi

#GejayanMemanggil: Sebuah Tinjauan Gerakan Sosial dari Perspektif Ilmu Komunikasi

Oleh: Moch. Imron Rosyidi*

Aksi serentak Senin 23 September 2019 menunjukkan masih adanya kepedulian generasi muda terhadap isu Nasional. Berbagai macam aksi demonstrasi mahasiswa terjadi di Jakarta, Gejayan Yogyakarta, DPRD Malang, Kalimantan Timur, Madura, Papua dan berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Mereka bersatu turun ke jalan, menolak RUU KUHP dan beberapa isu panas lain, seperti Asap Kalimantan, dan kasus Papua. Fenomena tersebut menunjukkan, bahwa kekhawartiran akademisi Ilmu Komunikasi terkait revolusi sosial di bidang teknologi informasi berdampak pada sifat apatisme, terpatahkan.

Yuval Noah Harari dalam best seller-nya, Sapiens: Riwayat Singkat Ummat Manusia menceritakan bagaimana awal manusia berkomunikasi. Mereka awalnya merespons bahaya dari alam dengan tanda-tanda semisal awan mendung, asap, dan sebagainya. Mereka dengan abstraksi bahasanya mampu selamat mengahadapi alam, hingga sebuah evolusi mereka sampai berhasil menciptakan bahasa yang mampu membuat abstraksi masa depan. Abstraksi tersebut mampu membuat imajinasi manusia untuk mampu menciptakan segala macam teknologi sampai pada saat ini, sehingga mereka berada di puncak rantai makanan, mahluk paling unggul.

Melihat hal tersebut paling tidak kita sepakat, bahasa merupakan simbol persatuan ummat manusia jika mampu dipersepsi bersama. Dari masa pra sejarah, masa kenabian, dan awal masehi banyak peristiwa dunia yang terjadi, karena manusia mengalami persepsi sama akan sebuah objek. Salah satu yang terbesar adalah revolusi industri semenjak penemuan mesin Uap oleh James Watt pada 1976 di Inggris. Revolusi tersebut dipersepsi seluruh dunia bahwa industrialisasi mempermudah kehidupan manusia. Sampai pada 2015 seluruh dunia sepakat bahwa pembangunan harus memperhatikan kebrlanjutan alam, industrialisasi tidak boleh merusak alam. Wacana tersebut disahkan oleh High-Level Panel of Emninent Persons (HLPEP) PBB pada 2015, sejak saat itu muncullah konsep SDG’s. Kini mayoritas industri mengarah ke pengembangan teknologi ramah lingkungan, dan berorientasi keberlanjutan atau energi terbarukan.

Saat ini para akademisi Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial tentu tidak asing dengan sosok Jurgen Habermas, terutama konsep besarnya soal Discourse. Bagi Habermas wacana masyarakat modern harus sampai pada titik Demokrasi Deliberatif. Asumsi tersebut berpendapat bahwa pengambilan keputusan, bukan hanya pada pendapat umum atau perseorangan, tapi pada pada proses yang terbuka dan argumentatif, Singkatnya; Rasionalitas Komunikasi. Konsepnya berilham pada Revolusi Perancis yang oleh kaum Proletar tahun 1989-1899. Wacana revolusi dimulai dari diskusi kecil kaum proletar di ruang-ruang seperti warung kopi dan bar akan penindasan kaum Borjuis terhadap mereka. Diskusi-diskusi itu terus berjalan hingga pada puncaknya mengakibatkan munculnya sayap kiri melawan sayap kanan, yang memulai Revolusi Perancis.

Konsep tersebut pernah teraplikasi dan berhasil di indonesia, Pada Mei Tahun 1998. Reformasi sesungguhnya juga dimulai dari persepsi bersama terkait wacana Bobroknya Orba, dan Turunnya Soeharto. Media Massa dicekal oleh Departemen Penerangan dan disensor sedemikian rupa, sehingga bobroknya negara tidak ada yang tahu. Sampai pada beberapa media anti mainstream seperti media pers mahasiswa, media online Detik.com dll, Milis-milis, memberitakan berbagai kesalahan pemerintah, termasuk kematian 4 Mahasiswa Universitas Trisakti. Berbagai informasi tersebut menggerakkan berbagai mahasiswa di seluruh tanah air dengan satu wacana; Reformasi. Reformasi akhirnya  melahirkan tiga lembaga yang sangat radikal akan dan menjadi harapan rakyat, KPU untuk demokrasi, KPI pada sisi informasi publik, dan KPK di sisi pemberantasan korupsi.

Kini pemuda dan mahasiswa lahir dan hidup di Era digital native, dimana semenjak lahir mereka sudah tidak asing dengan perangkat antar muka, atau yang biasa di sebut dengan komputer. Di era ini mendekatnya jarak psikologis menyempitkan jarak geografis, sehingga disadari atau tidak kita hidup di dalam entitas maya dan semua berlangsung sangat cepat. Manusia sudah tidak perlu lagi mengantri untuk bayar biaya kuliah, atau mengantri di taspen untuk menerima uang pensiun. Begitu pula kita tidak perlu membuat paspor dan mengeluarkan biaya jutaan untuk sekedar berbicara dan say hello kepada kekasih di negeri nun jauh disana. Akan tetapi, munculnya teknologi digital sebagai aplikasi perkembangan teknologi komunikasi, dikhawatirkan banyak pakar akan mengurangi sifat kepedulian, dan munculnya narsisisme berlebih seperti yang ditakutkan McLuhan (1964) beberapa dekade lalu.

Dari #GejayanMemanggil, sepertinya muncul sebuah harapan baru. Bahwa teknologi tidak sepenuhnya merubah habbit manusia sejak zaman awal dalam buku Sapiens. Habbit manusia yang akan merespons ketika diri mereka menghadapi bahaya masih ada. RUUKUHP, RUUPKS, RUUKPK dan sebagainya menggerakkan generasi milenial untuk satu persepsi dalam sebuah wacana; Bahaya!!! Negara tidak sedang baik-baik saja. Melalui #GejayanMemanggil yang diciptakan di ruang-ruang publik baru; Social Media, Mahasiswa seolah tergerak untuk datang dari berbagai penjuru Yogyakarta, bahkan dari luar DIY. Salah satunya tercatat lebih dari 700 mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Magelang, absen kuliah untuk turun ke Gejayan pada 23 September.

Bagi generasi digital native berbagai masalah negara belakangan ini perlu untuk diberikan kritik. Maka disini, mereka telah berani mempraktikkan konsep Habermas soal Demokrasi Deliberatif, mereka membuktikan untuk berani bertindak untuk menjadi masyarakat rasional, tidak lagi irasional akibat dunia maya. Karena sesungguhnya Rasionalitas mereka sangat berfungsi untuk mengontrol kebijakan-kebijakan publik. Maka sebagai akademisi ilmu komunikasi ketika muncul story WhatsApp atau Instagram dari mahasiswa; “Bapak-Ibu Dosen kami senin besok 23 September 2019 Izin kuliah di Gejayan”, saya dengan penuh rasa bangga dan sepenuhnya merestui jalan mereka, karena tiada alasan lagi untuk melarang mahasiswa mencapai rasionalitasnya.

Artkel ini menjadi bahasan di Diskusi Senja Rutinan  Prodi Ilmu Komunikasi, 24 September 2019

*)Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Magelang

Menarik Peristiwa ke dalam Ruang Diskusi: #GejayanMemanggil dari Perspektif Ilmu Komunikasi

Menarik Peristiwa ke dalam Ruang Diskusi: #GejayanMemanggil dari Perspektif Ilmu Komunikasi

Magelang (25/9) – Adanya putusan DPR RI mengenai RUUKUHP, RUUPKS, dan RUUKPK yang dinilai tidak adil dan relevan bagi rakyat Indonesia membuat para generasi muda, utamanya para mahasiswa bergerak untuk mencari keadilan. “#GejayanMemanggil” adalah wujud aksi mahasiswa dari berbagai penjuru Daerah Istimewa Yogyakarta hingga luar Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya para mahasiswa di Magelang. Sekitar lebih dari 700 mahasiswa UMMagelang turun ke Gejayan untuk menyuarakan aspirasi. Aksi yang berlangsung pada 23 September 2019 menjadi sebuah momentum yang akan diingat sebagai bentuk perjuangan atas kegelisahan-kegelisahan masyarakat.

Bagi mahasiswa yang minim pengalaman aksi, muncul pertanyaan: “Apa dan bagaimana mengkoordinir aksi? Mengapa dan bagaimana kita mengkondisikan diri kita saat melaksanakan aksi? Bagaimana cara menyampaikan pesan melalui sebuah aksi?” Mengamati fakta bahwa tidak semua mahasiswa mengerti konsep dan tujuan aksi, muncul pertanyaan lanjutan, “Apakah mahasiswa sudah punya landasan intelektual untuk turun ke jalan?” Pasalnya, hal ini adalah bekal wajib agar pesan-pesan perjuangan jelas, tepat sasaran, dan dengan efektif tersampaikan secara aman dan terkendali.

Membaca fenomena tersebut, Prodi Ilmu Komunikasi UMMgl mencoba menelaah peristiwa aksi tersebut dalam diskusi ilmiah ringan dengan tema “Dinamika Aksi Massa dari Perspektif Ilmu Komunikasi”. Diungkapkan oleh Aftina Nurul Husna, Ketua Prodi Ilmu Komunikasi UMMgl, “Saat ini sedang ada aksi mahasiswa dengan hastag Gejayan Memanggil. Kami amati bahwa sebagian mahasiswa hanya ikut-ikutan dan tidak mendapatkan asensinya. Kami berpikir bagaimana agar apa yang sedang jadi isu saat ini bisa membuat mahasiswa belajar lebih banyak lagi. Maka, peristiwa ini harus dikaji dari sudut pandang ilmu. Aksi ini harus ada makna nya, utamanya bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi.”

Diskusi yang dimulai pada pukul 16.00 WIB ini bertempat di ruang baca Prodi Ilmu Komunikasi. Hadir sebagai pembicara, M. Imron Rosyidi, dosen komunikasi politik Prodi Ilmu Komunikasi UMMagelang. Diskusi ini menurutnya dapat menjadi sarana pembelajaran mahasiswa tentang isu-isu publik dilihat dari kacamata akademis.

“Isu publik saat ini tentang demonstrasi kadang direspon dengan latah. Saya ingin membimbing mahasiswa saya jadi mahasiswa yang ikut aksi tidak asal ikut. Beberapa mengikuti aksi ini hanya karena ingin narsis. Diskusi ini bertujuan untuk menumbuhkan jiwa akademis. Selama ini kita kurang ruang diskusi, maka adanya acara ini bisa menjadi poin penting bagi mahasiswa,” jelas M.Imron Rosyidi.

Sementara itu, peserta diskusi berasal dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah Magelang dari berbagai kalangan. Peserta termotivasi untuk hadir karena merasa perlu menambah wawasan dan pengetahuan mereka terkait dengan aksi yang dikaitkan dengan geopolitik.

“Saya ingin mengulas lebih dalam tentang aksi damai yang dilakukan oleh mahasiswa dan elemen masyarakat yang terjadi di Gejayan, Yogyakarta. Materi yang saya dapat dalam diskusi bersama tentang aksi damai itu ada banyak sebenarnya, baik dari sisi baik maupun yang tidak baik. Saya jadi tahu sedikit banyak tentang dunia perpolitikan. Dalam acara tersebut mahasiswa juga menjadi tahu lebih tentang bagaimana sih aksi demo yang benar, apa yang harus dilakukan sebelum demo seperti mengkaji apa yg didemokan,” papar Gamala Risfie, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, peserta diskusi. (yo/an)

Faculty Fair Tak Hanya ajang Berkenalan, Tapi Juga Berkreasi

Faculty Fair Tak Hanya ajang Berkenalan, Tapi Juga Berkreasi

Magelang-Fakultas Psikologi dan Humaniora (FPH), Universitas Muhammadiyah Magelang menggelar Faculty Fair 2019 bertempat di Kampus I UMMgl. Menurut Moch. Imron Rosyidi, selaku Ketua Panitia, acara ini merupakan wadah pengenalan mahasiswa baru dengan dunia kampus yang akan mereka hadapi. Acara ini juga sebagai penyuntik semangat untuk belajar dan berkretivitas mahasiswa dalam peran barunya sebagai agen perubahan (17/9/19). “Faculty Fair ini bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa kegiatan kuliah S1 selama kurang lebih 4 tahun, baik pengenalan fakultas, pengenalan dosen pengajar, pengenalan akademik, maupun organisasi serta peran mahasiswa sebagai agent of change,” papar dosen yang sering disapa Cak Imron ini.

Hal serupa diungkapkan pula oleh Ulfa Norin, mahasiswa baru tahun 2019/2020 Prodi Ilmu Komunikasi. Menurutnya, acara Faculty Fair banyak memberikan penjelasan mengenai perkuliahan. Hal ini menjadi dapat bekal untuknya dalam beradaptasi dengan atmosfer kampus. “Saya merasa senang bisa berkenalan dengan banyak teman baru, kakak tingkat, dan dosen. Meskipun baru pertama bertemu tapi kami semua sudah bisa akrab. Kami banyak diberikan penjelasan mengenai awal kuliah dan materi yang akan kami dipelajari, sehingga memudahkan kami saat hari pertama masuk,” ujarnya.

Faculty Fair dimulai pukul 07.00 WIB dan dibuka oleh Plt. Dekan Fakultas Psikologi dan Humaniora, Dr. Purwati. Acara dilanjutkan dengan perkenalan jajaran dosen pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi dan Psikologi, dua prodi di FPH UMmgl. Sebagai penutup dan acara puncak ialah bedah film dokumenter berjudul “Surga Kentang Ranu Pane”. Bedah film ini menjadi ajang melatih sikap kritis dan menumbuhkan pengembangan nalar mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Psikologi agar tidak mudah terpengaruh oleh tayangan atau informasi yang diberitakan masyarakat. “Diadakannya bedah film ini adalah agar mahasiswa berlatih berpikir kritis dan menumbuhkan nalar berpikir sesuai bidang keilmuan yang dipilih,” jelas M. Imron Rosyidi.

Lebih lanjut, panitia memanfaatkan Faculty Fair sebagai sarana memupuk keberanian mahasiswa untuk melahirkan karya yang inovatif dan kreatif. “Kemarin juga kami adakan seperti lomba pembuatan video pendek tentang gelora FPH. Ini diharapkan bisa menumbuhkan kreativitas mahasiswa dalam berkaya dan berinovasi,” ujar Annisa Zafirah, panitia Faculty Fair yang juga mahasiswa ilmu Komunikasi UMMgl. (yo/an)