Oleh: Moch. Imron Rosyidi*
Aksi serentak Senin 23 September 2019 menunjukkan masih adanya kepedulian generasi muda terhadap isu Nasional. Berbagai macam aksi demonstrasi mahasiswa terjadi di Jakarta, Gejayan Yogyakarta, DPRD Malang, Kalimantan Timur, Madura, Papua dan berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Mereka bersatu turun ke jalan, menolak RUU KUHP dan beberapa isu panas lain, seperti Asap Kalimantan, dan kasus Papua. Fenomena tersebut menunjukkan, bahwa kekhawartiran akademisi Ilmu Komunikasi terkait revolusi sosial di bidang teknologi informasi berdampak pada sifat apatisme, terpatahkan.
Yuval Noah Harari dalam best seller-nya, Sapiens: Riwayat Singkat Ummat Manusia menceritakan bagaimana awal manusia berkomunikasi. Mereka awalnya merespons bahaya dari alam dengan tanda-tanda semisal awan mendung, asap, dan sebagainya. Mereka dengan abstraksi bahasanya mampu selamat mengahadapi alam, hingga sebuah evolusi mereka sampai berhasil menciptakan bahasa yang mampu membuat abstraksi masa depan. Abstraksi tersebut mampu membuat imajinasi manusia untuk mampu menciptakan segala macam teknologi sampai pada saat ini, sehingga mereka berada di puncak rantai makanan, mahluk paling unggul.
Melihat hal tersebut paling tidak kita sepakat, bahasa merupakan simbol persatuan ummat manusia jika mampu dipersepsi bersama. Dari masa pra sejarah, masa kenabian, dan awal masehi banyak peristiwa dunia yang terjadi, karena manusia mengalami persepsi sama akan sebuah objek. Salah satu yang terbesar adalah revolusi industri semenjak penemuan mesin Uap oleh James Watt pada 1976 di Inggris. Revolusi tersebut dipersepsi seluruh dunia bahwa industrialisasi mempermudah kehidupan manusia. Sampai pada 2015 seluruh dunia sepakat bahwa pembangunan harus memperhatikan kebrlanjutan alam, industrialisasi tidak boleh merusak alam. Wacana tersebut disahkan oleh High-Level Panel of Emninent Persons (HLPEP) PBB pada 2015, sejak saat itu muncullah konsep SDG’s. Kini mayoritas industri mengarah ke pengembangan teknologi ramah lingkungan, dan berorientasi keberlanjutan atau energi terbarukan.
Saat ini para akademisi Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial tentu tidak asing dengan sosok Jurgen Habermas, terutama konsep besarnya soal Discourse. Bagi Habermas wacana masyarakat modern harus sampai pada titik Demokrasi Deliberatif. Asumsi tersebut berpendapat bahwa pengambilan keputusan, bukan hanya pada pendapat umum atau perseorangan, tapi pada pada proses yang terbuka dan argumentatif, Singkatnya; Rasionalitas Komunikasi. Konsepnya berilham pada Revolusi Perancis yang oleh kaum Proletar tahun 1989-1899. Wacana revolusi dimulai dari diskusi kecil kaum proletar di ruang-ruang seperti warung kopi dan bar akan penindasan kaum Borjuis terhadap mereka. Diskusi-diskusi itu terus berjalan hingga pada puncaknya mengakibatkan munculnya sayap kiri melawan sayap kanan, yang memulai Revolusi Perancis.
Konsep tersebut pernah teraplikasi dan berhasil di indonesia, Pada Mei Tahun 1998. Reformasi sesungguhnya juga dimulai dari persepsi bersama terkait wacana Bobroknya Orba, dan Turunnya Soeharto. Media Massa dicekal oleh Departemen Penerangan dan disensor sedemikian rupa, sehingga bobroknya negara tidak ada yang tahu. Sampai pada beberapa media anti mainstream seperti media pers mahasiswa, media online Detik.com dll, Milis-milis, memberitakan berbagai kesalahan pemerintah, termasuk kematian 4 Mahasiswa Universitas Trisakti. Berbagai informasi tersebut menggerakkan berbagai mahasiswa di seluruh tanah air dengan satu wacana; Reformasi. Reformasi akhirnya melahirkan tiga lembaga yang sangat radikal akan dan menjadi harapan rakyat, KPU untuk demokrasi, KPI pada sisi informasi publik, dan KPK di sisi pemberantasan korupsi.
Kini pemuda dan mahasiswa lahir dan hidup di Era digital native, dimana semenjak lahir mereka sudah tidak asing dengan perangkat antar muka, atau yang biasa di sebut dengan komputer. Di era ini mendekatnya jarak psikologis menyempitkan jarak geografis, sehingga disadari atau tidak kita hidup di dalam entitas maya dan semua berlangsung sangat cepat. Manusia sudah tidak perlu lagi mengantri untuk bayar biaya kuliah, atau mengantri di taspen untuk menerima uang pensiun. Begitu pula kita tidak perlu membuat paspor dan mengeluarkan biaya jutaan untuk sekedar berbicara dan say hello kepada kekasih di negeri nun jauh disana. Akan tetapi, munculnya teknologi digital sebagai aplikasi perkembangan teknologi komunikasi, dikhawatirkan banyak pakar akan mengurangi sifat kepedulian, dan munculnya narsisisme berlebih seperti yang ditakutkan McLuhan (1964) beberapa dekade lalu.
Dari #GejayanMemanggil, sepertinya muncul sebuah harapan baru. Bahwa teknologi tidak sepenuhnya merubah habbit manusia sejak zaman awal dalam buku Sapiens. Habbit manusia yang akan merespons ketika diri mereka menghadapi bahaya masih ada. RUUKUHP, RUUPKS, RUUKPK dan sebagainya menggerakkan generasi milenial untuk satu persepsi dalam sebuah wacana; Bahaya!!! Negara tidak sedang baik-baik saja. Melalui #GejayanMemanggil yang diciptakan di ruang-ruang publik baru; Social Media, Mahasiswa seolah tergerak untuk datang dari berbagai penjuru Yogyakarta, bahkan dari luar DIY. Salah satunya tercatat lebih dari 700 mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Magelang, absen kuliah untuk turun ke Gejayan pada 23 September.
Bagi generasi digital native berbagai masalah negara belakangan ini perlu untuk diberikan kritik. Maka disini, mereka telah berani mempraktikkan konsep Habermas soal Demokrasi Deliberatif, mereka membuktikan untuk berani bertindak untuk menjadi masyarakat rasional, tidak lagi irasional akibat dunia maya. Karena sesungguhnya Rasionalitas mereka sangat berfungsi untuk mengontrol kebijakan-kebijakan publik. Maka sebagai akademisi ilmu komunikasi ketika muncul story WhatsApp atau Instagram dari mahasiswa; “Bapak-Ibu Dosen kami senin besok 23 September 2019 Izin kuliah di Gejayan”, saya dengan penuh rasa bangga dan sepenuhnya merestui jalan mereka, karena tiada alasan lagi untuk melarang mahasiswa mencapai rasionalitasnya.
Artkel ini menjadi bahasan di Diskusi Senja Rutinan Prodi Ilmu Komunikasi, 24 September 2019
*)Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Magelang
Oleh: Sihabuddin
Idul Adha merupakan salah satu hari besar dalam agama Islam yang dilaksanakan setiap tanggal 10 dzul hijjah dan tahun ini pemerintah Indonesia menetapkan 10 dzul hijjah bertepatan dengan tanggal 11 agustus. Perayaan Idul Adha sendiri untuk memperingati peristiwa kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang bersedia mengkurbankan putranya Nabi Ismail atas perintah Allah, namun Allah segera menggantinya dengan seekor domba sebelum pisau menyentuh leher Nabi Ismail. Perintah Allah tersebut melalui sebuah mimpi yang bermaksud untuk menguji ketaqwaan Nabi Ibrahim sebagai seorang Nabi. Menyembelih putra yang sangat didamba-dambakan apalagi putra tersebut memiliki akhlak yang baik, cerdas, patuh pada orang tua dan sifat-sifat terpuji lainnya tentunya merupakan ujian yang sangat berat. Namun, kecintaan Nabi Ibrahim terhadap Allah Swt adalah segala-segalanya sehingga apapun yang diperintahkan Allah akan dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Meski peristiwa tersebut adalah perintah Allah yang pasti akan dilaksanakan, Nabi Ibrahim tidak otoriter apalagi sampai memaksa terhadap putranya. Nabi Ibrahim mengkomunikasikan mimpi tersebut terhadap putra yang akan dikurbankan dan meminta pendapatnya. Sebagai seorang putra yang wajib patuh terhadap orang tua dan didasari atas kecintaannya terhadap Allah beliau langsung meng-iya-kan tanpa ragu apalagi sampai membantah. Komunikasi yang terjadi antara dua orang Nabi yang merupakan ayah dan anak ini merupakan etika komunikasi yang patut diteladani oleh semua orang. Komunikasi tersebut tertulis dalam surat Aa-saffat ayat 102, yang artinya “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “Maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Al-Qur`an sebagai pedoman hidup umat Islam telah mengajarkan bagaimana cara berkomunikasi yang baik antara orang tua dengan anaknya seperti yang telah dijelaskan pada ayat di atas. Namun, apa yang terjadi saat ini banyak orang yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik antara orang tua dengan anak. Banyak sekali orang tua terlalu otoriter terhadap anaknya tanpa minta pendapat anaknya dengan alasan yang diinginkan orang tuanya adalah yang terbaik bagi anaknya, jadi mau tidak mau anaknya harus mau. Kebetulan anaknya tidak paham dengan keinginan orang tuanya sehingga anaknya tidak menuruti kemauan orang tuanya disebabkan etika komunikasi yang salah dari orang tuanya. Terkadang, seorang anak yang sudah paham keinginan orang tuanya bisa jadi menolak mentah-mentah karena kesalahan komunikasi.
Lebih parah lagi saat ini banyak anak yang sering menyakiti perasaan orang tuanya yang telah membesarkannya dikarenakan tidak memiliki etika komunikasi. Padahal orang tuanya sudah berbicara dengan benar dan meminta pendapatnya namun karena tidak sesuai dengan kehendaknya langsung ditolak mentah-mentah. Apalagi kalau anak tersebut paham kalau keinginan orang tuanya demi kebaikan anaknya namun karena nafsu, etika komunikasi tidak digunakan. Seharusnya seorang anak harus menuruti perintah orang tua selama perintah tersebut positif. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Ismail yang langsung meng-iya-kan ucapan Nabi Ibrahim karena sudah paham perintah tersebut positif atau yang terbaik bagi dirinya. Yang perlu digaris bawahi dari peristiwa komunikasi antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah adanya saling pengertian di antara keduanya sehingga komunikasi menjadi efektif. Saling pengertian dalam peristiwa komunikasi tersebut perlu untuk diteladani oleh umat manusia.
Etika Komunikasi Organisasi
Etika komunikasi yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tidak hanya bisa dijadikan cerminan untuk komunikasi antara orang tua dan anak yang lingkupnya komunikasi antarpribadi. Tapi, etika komunikasi ini sangat cocok untuk diteladani dalam lingkup komunikasi organisasi. Organisasi yang terdiri dari banyak individu tentunya memerlukan komunikasi efektif sebagai penghubung antara individu dengan individu lainnya untuk keberlangsungan sebuah organisasi. Sebuah organisasi yang terdiri dari struktur untuk membedakan antara atasan dengan bawahan dengan peran masing-masing perlunya etika komunikasi agar komunikasi antara atasan dengan bawahan maupun sebaliknya berlangsung nyaman dan lancar sehingga mempengaruhi kinerja organisasi yang baik.
Etika komunikasi seorang atasan dalam sebuah struktur organisasi perlu meneladani etika komunikasi Nabi Ibrahim yang tidak seenaknya memerintah dan menggunakan kata-kata yang lebih pas terhadap bawahannya. Bahkan Nabi Ibrahim juga meminta pendapat terhadap bawahannya. Padahal jika mau Nabi Ibrahim bisa saja otoriter terhadap Nabi Ismail namun Nabi Ibrahim tahu bagaimana cara menghargai seorang putranya. Etika Nabi Ismail yang merupakan seorang putra juga perlu diteladani oleh para peserta organisasi yang berperan sebagai bawahan. Sebagai bawahan harus mengikuti perintah atasan selama perintah tersebut tidak menyalahi aturan sosial masyarakat. Selain itu, bawahan juga harus memahami pesan komunikasi yang diperintahkan agar bisa mengambil keputusan yang tepat dan tegas terhadap suatu perintah sehingga keputusan yang diambil bersama tidak merugikan banyak pihak. Seperti yang dicontohkan Nabi Ismail yang sangat memahami pesan komunikasi ayahnya sehingga tepat dan cepat serta tidak ada keraguan dalam mengambil keputusan karena sudah tahu perintah ayahnya adalah perintah terbaik untuk dirinya dan keluarganya sehingga keputusan yang diambil menjadi salah satu ritual hari besar dalam agama Islam sebagai ladang mendapatkan pahala.
Penulis, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Magelang
Tulisan ini telah dimuat di Harian Duta Masyarakat (Koran berpusat di Surabaya Jawa Timur)
Oleh. Moch. Imron Rosyidi.,S.I.K., M.Sc*
Ilmu komunikasi mendapat ruang tersendiri di era rervolusi teknologi informasi 4.0 ini. Merespon hal tersebut, ASPIKOM sebagai asosiasi tingkat nasional pendidikan tinggi ilmu komunikasi, mengemas acara rutinan setiap 3 tahun dengan konsep berbeda. Bertempat di Hotel Syariah Lor-Inn Solo 24-26 Juli 2019, acara kongres ASPIKOM kali ini mengambil tema “Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi di Era 4.0”.
Acara tersebut berurutan mulai dari, Semiloka, Call of Paper, Sharing Session di hari pertama. Kemudian dilanjutkan dengan Kongres dan Pemilihan Ketua ASPIKOM periode 2019-2022 pada hari kedua dan ditutup dengan clossing seremoni di hari ketiga. Jumlah pengelola program studi maupun utusan yang hadir di acara ini adalah sekitar 300 orang dengan 169 Pemilik suara penuh, dan beberapa rombongan.
Semiloka Merespon Tantangan Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Semiloka ini dimulai setelah registrasi pertama dan menjelang acara call of paper. Adapun pemateri dalam semiloka kali ini yang pertama adalah bapak Doni B.U., M.Si beliau adalah seorang Staf Ahli Menkominfo dibidang literacy digital. Beliau memaparkan pembangunan Palapa Rings atau yang biasa disebut Toll Langit hal itu merupakan respon pemerintah terhadap isu disruption. Beliau juga menjelaskan kasus-kasus yang menunjukkan kalau kita telat merespon akan semakin ketinggalan.
Sekedar contoh, beliau menunjukkan di Cina semua kegiatan jurnalistik atau Newsmaking sudah digantikan oleh mesin. Munculnya aplikasi pembuat berita, robot pembaca berita, serta WINDOWS membuat aplikasi Newscorrection membuat kegiatan industri Jurnalisme dari hulu hingga hilir akan digantikan oleh mesin. Maka tantangan yang harus diperhatikan bersama adalah skill apa yang harus dipertahankan atau dimunculkan untuk menghadapi itu semua.
Pembicara kedua adalah Retno Wulandari beliau adalah General Manager The Sunan Hotel Solo. Beliau menggambarkan bahwa ketika 10 tahun lalu seorang marketing officer suatu hotel/ perusahaan jasa harus membaca setidaknya 10 surat kabar untuk melihat ulasan dan citra perusahaan. Akan tetapi kini semua berbeda, untuk melihat track record perusahaan bisa di cek secara Realtime.
Seorang Public Relation Officer The Sunan bisa melihat dengan membaca #TheSunan di Twitter atau di ulasan maps, serta ulasan di ecommers seperti Traveloka dan MisterAladin. Publik kini lebih percaya pada influencer di dunia maya untuk mengulas dan memberi rekomendasi dari tiap produk. Seperti ketika kita membutuhkan refrensi wisata cukup melihat TripAdvisor. Sehingga pemilik-pemilik produk jasa akan harus mengundang reviewer maupun influencer tersebut ketika mangadakan Pers Conference atau jejaring media.
Pembicara ketiga adalah adalah Janu Arijanto, CEO Densu One, dan Member Forum Transformasi. Beliau memaparkan bagaimana pengelolaan prodi ilmu komunikasi harus memikirkan disruption yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi. Beliau memaparkan bahwa kultur masyarakat yang akan berubah sejalan dengan perkembangan teknologi ilmu komunikasi. Beliau menawarkan penguatan Skills of Sense.
Skills-skills basic yang harus dimiliki untuk melihat fenomena, seperti urban atropology,cultural studies akan membuat kita tidak akan kehilangan ruang sebagai pakar-pakar komunikasi. Jurnalistik sudah tidak lagi menayasar masyarakat secara luas tapi pada aproximity bahkan pada tataran yang sangat detil. Sehingga broadcasting bahkan telah berubah menjadi sebuah entitas baru yang disebut dengan Broadnett, dimana ini mendekati Audience dangat pendekatan jaringan komunikasi.
Tema |
Realitas |
Tantangan/Solusi |
Literacy Digital |
-Palapa Rings
-Robot-Robot baru
-Teknologi begitu Cepat
|
-Skills Komunikasi manusia akan digantikan mesin |
PR Digital |
-Realtime information
–influencer newmedia
|
-Perubahan pola menenjeman informasi |
Digital Culture |
-Bergesernya pola konsumsi informasi di publik
-Menakar kemanusiaan di era ini
|
–Skill of Sense
-Menumbukan peran humanisme sebagai kajian digital |
Tabel Ringkasan hasil Semiloka (Diolah, Penulis 2019)
Call Of Paper Pendidikan Tinggi di Era 4.0
Dalam sesi kali ini saya tergabung di panel ruang 4 dan memperesentasikan paper saya berjudul, Narasi Pemikiran Jurgen Habermas Sebagai Pijakan Alternatif Komunikasi Pembangunan Partisipatif. Saya mendapatkan kesempatan pertama untuk melakukan presentasi. Dimana inti presentasi saya adalah membangun wacana alternatif dalam pendekatan komunikasi pembangunan.
Respon beragam muncul, mulai pertanyaan soal ontologi hinga aksiologi konsep yang saya bawakan. Turut hadir dalam diskusi ini sebagai panelis adalah Prof. Burhan Bungin., Ph.D beliau mengkritik istilah-istilah baru tentang konsep komunikasi yang memang sangat multi disipliner. Dimana beberapa peresenter gagal menjelaskan konsep-konsepnya secara filosofis, seperti komunikasi bencana, komunikasi pariwisata, dan komunikasi maritim yang dainggap panelis kurang kuat akar filosofinya.
Beliau memaparkan bukan tidak mungkin komunikasi bencana maupun komunikasi pariwisata bisa menjadi subuah prodi tersendiri bukan hanya mata kuliah atau konsentrasi. “Sebaikanya kita semua mulai melakukan refleksi terkait konsep-konsep itu, apa ontologinya, epistimologinya, dan aksiologinya. Jangan hanya ngawur membuat istilah komunikasi bencana tapi akarnya tidak jelas, padalah bukan tidak mungki suatu saat muncul prodi komunikasi bencana” papar Prof Burhan Bungin., Ph.D.
Sharing Session Pendidikan Tinggi Komunikasi Di Era 4.0
Acara dilanjutkan dengan sharing session dengan fasilitator diskusi Dr. M. Sulhan Ketua Departement Ilmu Komunikasi UGM. Beliau membuka diskusi dengan sebuah statmen unik yakni “Kanibalisme Antar Prodi Rumpun Ilmu Komunikasi”. Hal ini merupakan respon dimana revolusi industri 4.0 dan munculnya banyak prodi komunikasi baru akan menambah masalah baru pada serapan lulusan.
Hal tersebut pernah terjadi pada saat indonesia masuk Pasar Bebas, Prodi mageman dan ekonomi menjamur. Sehingga pada ujungnya, serapan terhadap lulusan menurun dan buktinya banyak prodi yang tutup atau di moratorium kementrian. Maka para pakar ilmu komunikasi berharap hal itu tidak terjadi pada prodi komunikasi ketika memasuki era 4.0.
Turut berbicara dalam sharing session kali ini beberapa prodi baru seperti Universitas Amikom, dan Universitas Muhammadiyah Magelang, yang diminta menjalaskan prodi masing-masing. Prodi baru ini turut mendapat apresiasi dari beberapa dewan pakar maupun pakar yang ditunjuk sebagai Asesor BAN-PT. Hal tersebut karena baik UM Magalang maupun Amikom memiilik karakter atau keunikan dibanding prodi-prodi lainnya. UM magelang dengan komunikasi bisnis digital dan rural studinya, serta amaikom dengan Cyber Comunicationnya.
Keunikan menjadi karakter penting, karena itu pertanyaan utama yang muncul oleh asesor ketika visitasi lapangan. Sebuah kasus Departement ilmu komunikasi di Indonesia Timur memiliki prodi Advertising yang jelas daya serapannya tidak sesuai dengan kultur dan demografis masyarakatnya. Berbeda lagi dengan Universitas Nusa Cendana yang sangat local wisdom, mereka memiliki prodi Komunikasi Lintas Budaya, keran secara geografis dekat dengan perbatasan. Disisi lain Universitas Nusa Cendana tetap memakai istilah Humas dibanding dengan PR karena pasar mereka membutuhka Skills-Skills kedaerahan.
Para dewan pakar berharap dan yakin keunikan akan tetap menjadi penyelamat Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi dari “kanibalisme Antar Prodi”. Karena komunikasi sebagai disiplin ilmu baru, harus menemukan tempatnya di era saat ini. Ditambah Informasi adalah isu yang sexy sehingga saingan Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi tidak hanya pada internal lingkungan, tapi prodi lain yang berusaha mulai memasuki area kerja kita sebagai sebuah disiplin ilmu.
*Dosen Komunikasi Pembangunan di Prodi Ilmu Komunikasi UM Magelang
Oleh: Sihabuddin
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Analisa Medan Edisi 8 Juni 2018
Setiap manusia memiliki keterbatasan sehingga diperlukan teknologi untuk mempermudah masyarakat dalam segala aktivitasnya. Berkat teknologi peradaban manusia menjadi maju dan semakin berkembang hingga saat ini karena masalah-masalah dalam pengelolaan sumber daya alam cepat teratasi. Dengan semakin majunya peradaban manusia tentunya diikuti oleh kemajuan teknologi pula yang melahirkan berbagai teknologi baru di berbagai bidang mulai transportasi, teknologi, informasi, komunikasi, dan lainnya, sehingga kemajuan demi kemajuan dari segala aspek terus terjadi, inilah dampak positif dari keberadaan teknologi.
Namun, keberadaan teknologi juga memiliki dampak negatif yang sangat membahayakan manusia. Dampak tersebut bukan dikarenakan oleh teknologi itu sendiri, tapi dikarenakan oleh pemakainya. Manusia yang sangat diuntungkan dengan keberadaan teknologi sampai kebablasan sehingga sangat tergantung pada teknologi dan membutnya malas untuk menggunakan organ tubuhnya untuk beraktifitas. Padahal teknologi diciptakan untuk mengatasi keterbatasan manusia yang tidak bisa digunakan oleh organ tubuh secara langsung, bukan untuk mengganti fungsi alat tubuh untuk beraktifitas. Namun saat ini teknologi banyak yang digunakan untuk menggantikan manusia bukan untuk membantu manusia, sehingga sangat membahayakan manusia itu sendiri. Sebab, semua organ tubuh manusia harus digerakan atau digunakan sesuai dengan kadarnya jika tidak digunakan akan membahayakan pemilik organ tubuh tersebut karena akan menyebabkan lemah atau sakit bahkan berujung pada kematian.
Ketergantungan pada teknologi saat ini sudah sangat membudaya di masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat tidak hanya di perkotaan tapi juga di pedesaan yang tidak mau berjalan kaki ke tempat yang bisa dijangkau jalan kaki. Jika ada orang yang jalan kaki ke tempat yang dekat saja, biasanya akan ditanya kendaraannya dimana. Hal ini dikarenakan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari hampir semua masyarakat jadi wajar jika ada yang berpergian meski jarak dekat akan ditanya kendarannya. Hal ini menyebabkan saat ini banyak orang yang tidak kuat jalan kaki meski jaraknya dekat. Padahal fungsi kaki untuk berjalan dan dari setiap langkahnya memberikan banyak manfaat yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga dengan jalan kaki tubuh tetap tidak mudah sakit. Diambil dari www.alodokter.com, jalan kaki memberikan banyak manfaat baik untuk kesehatan jantung, menurunkan kolesterol, mencegah diabetes, menurunkan berat badan, mencegah osteoporosis dan sebagainya.
Dengan melihat fenomena ini, wajar saat ini banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tersebut. Hal ini karena anggota tubuhnya tidak bergerak sehingga ada ketidakseimbangan di dalam tubuh yang menyebabkan timbulnya penyakit. Coba bandingkan dengan zaman dahulu, dimana teknologi tidak secanggih seperti saat ini. Orang-orang terdahulu di usia 50 tahun bahkan 60 masih banyak yang sehat bugar, penglihatannya tidak minus, pendengarannya masih normal, dan jalan kakinya masih kuat. Hal ini orang-orang terdahulu tidak tergantung dengan teknologi, organ tubuhnya digunakan sebagai mana mestinya, penggunaan teknologi sesuai dengan keperluan, sehingga tubuhnya tidak lemah meski sudah tua. Sedangkan saat ini, di usia 50 bahkan 40 saja sudah banyak yang harus cek kedokter karena penyakit yang diderita.
Selain melemahkan tubuh, teknologi juga melemahkan manusia dari aspek pergaulan. Memang dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi manusia semakin mudah menjalin pertemanan dengan siapapun karena bisa berkomunikasi dengan jarak jauh. Namun, banyak orang yang kebablasan dalam menggunakan teknologi ini, sehingga malas bersilaturrahmi di waktu-waktu senggang bahkan ada yang malas bertutur sapa secara langsung dengan orang yang di sekitarnya karena lebih suka berkomunikasi dengan orang yang jauh. Sehingga banyak manusia lemah atau tidak pandai dalam bergaul dengan masyarakat di sekitarnya, padahal jika ada sesuatu yang tidak diinginkan orang-orang terdekatnyalah yang pertama kali akan menolong, bukan orang jauh yang diajak berkomunikasi dengan teknologi tersebut.
Teknologi juga melemahkan manusia dalam keterampilan, seperti dalam keterampilan menulis atau kaligrafi. Saat ini banyak mahasiswa meski sudah berpendidikan tinggi memiliki tulisan tangan yang jelek karena lebih sering menulis menggunakan laptop, dan sebagainya. Selain itu, saat ini semakin sedikit orang yang benar-benar mempelajari kaligrafi karena sudah ada alat yang bisa membuat tulisan yang bagus. Sehingga orang-orang yang bisa menulis dengan tulisan tangan yang indah semakin sedikit. Padahal menulis dengan tangan juga memiliki banyak manfaat salah satunya bisa meningkatkan ingatan. Masih banyak dampak negatif dari teknologi yang melemahkan manusia di berbagai aspek. Namun, teknologi melemahkan manusia jika kebablasan atau berlebihan dalam penggunaanya, karena hal yang berlebihan itu tidak baik. Jika teknologi digunakan sebagai mana mestinya tentunya akan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Penulis: Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Magelang
Oleh: Sihabuddin
Tulisan ini sudah dimuat di Magelang Ekspress Edisi 4 September 2018
Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia dengan luas laut mencapai 70 persen dari luas seluruh wilayah tentunya memiliki kekayaan laut yang luar biasa. Kekayaan laut Indonesia terdiri dari terumbu karang yang mana 14 persen dari terumbu karang dunia ada di Indonesia dan diperkirakan lebih dari 2.500 jenis ikan dan 500 jenis karang hidup di dalamnya. Kekayaan laut Indonesia tentunya sangat menguntungkan jika dikelola dengan baik salah satunya dengan mengkonsumsi ikan laut yang sangat melimpah, bahkan menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan potensi sumber daya ikan mencapai 9,9 juta ton. Namun sayang, kekayaan laut yang melimpah tidak benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang enggan makan ikan laut terutama daerah pegunungan, menurut data FAO sebagai badan pangan dunia menyebutkan Indonesia berada di peringkat ke lima di ASEAN setelah Malaysia, Myanmar, Vietnam, dan Filipina sebagai negara dengan konsumsi ikan.
Melihat data ini tentunya sangat miris melihat Indonesia sebagai negara terluas di Asia Tenggara dilihat dari segi daratan maupun lautan. Dengan sedikitnya masyarakat Indonesia yang suka makan ikan maka industri perikanan di Indonesia tidak berkembang dan potensi laut yang melimpah akan sia-sia. Jadi tidak heran jika ikan laut di Indonesia banyak yang dicuri oleh negara lain karena tidak dikelola secara maksimal. Maka dari itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Ibu Pudjiastuti mengampanyakan agar masyarakat Indonesia rajin memakan ikan agar kekayaan ikan laut di Indonesia benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, harga ikan laut relatif lebih dari pada daging sapi dan gizi ikan laut sangat bagus untuk kecerdasan seorang anak.
Salah satu daerah yang paling rendah mengkonsumsi ikannya adalah pulau Jawa terutama Jawa Tengah, menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah angka mengkonsumsi ikan di Provinsi Jawa Tengah berada di angka 26 kilogram masih jauh di bawah target nasional yaitu 36 kilogram. Padahal Jawa Tengah diapit oleh lautan, laut Jawa di sebelah Utara dan Samudera Hindia sebelah Selatan. Harusnya dengan potensi laut yang luas masyarakat Provinsi Jawa Tengah rajin mengkonsumsi ikan. Selain Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang konsumsi makan ikannya rendah. Menurut kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta tingkat konsumsi ikan warga kota Yogyakarta baru mencapai 23 kilogram perkapita pertahun. Masih jauh dibanding rata-rata nasional.
Ada banyak hal yang menyebabkan masyarakat Indonesia tidak begitu suka makan ikan laut. Salah satunya adalah mitos, banyak mitos yang beredar di masyarakat terutama untuk ibu hamil kalau memakan ikan laut bayinya berbau amis, ada pula yang mengatakan ibu hamil yang memakan ikan laut bayinya akan cacingan. Padahal mengkonsumsi ikan sangat banyak manfaatnya bagi kesehatan terutama untuk perkembangan anak karena ikan mengandung asam lemak omega 3 yang dibutuhkan untuk pertumbuhan otak. Selain itu, ikan juga mengandung kalsium, vitamin D, dan fosfor yang sangat baik untuk pertumbuhan tulang. Mengkonsumsi ikan juga sangat baik untuk kesehatan jantung dan manfaat lainnya. Jadi mitos yang beredar di masyarakat saat ini tentang mengkonsumsi ikan itu tidak benar.
Selain mitos, penyebab masyarakat rendah mengkonsumsi ikan adalah pandangan masyarakat terhadap konsumsi ikan. Sebagian besar masyarakat berpandangan orang yang mengkonsumsi ikan laut dari kalangan kelas menengah ke bawah karena harganya lebih murah dari pada harga daging, apalagi daging sapi. Dan kebiasaan orang Indonesia akan menganggap luar biasa sesuatu yang harganya mahal, meskipun yang mahal belum tentu lebih berkualitas. Hal ini berbeda dengan di Jepang mengkonsumsi ikan menjadi hal yang biasa bukan menunjukan kelas ekonomi, bahkan acara-acara memasak di stasiun televisi Jepang menu utamanya sering dari ikan laut. Untuk wilayah Jawa Tengah bagian Tengah dilihat dari sisi Utara dan Selatan, salah satu penyebab rendahnya masyarakat mengkonsumsi ikan laut salah satunya karena mahalnya harga ikan laut dan sedikitnya penjual ikan laut. Sehingga wajar jika masyarakat wilayah ini lebih memilih tahu, tempe, telur, daging, dan sayur sebagai pendamping nasi untuk dikonsumsi.
Untuk menyadarkan dan menjadikan masyarakat gemar mengkonsumsi ikan tidak cukup dengan penyuluhan atau sosialisasi dan iklan anjuran makan. Tapi juga pembiasaan masyarakat untuk makan ikan sejak kecil, sebab kebiasaan sejak dari kecil akan sangat berpengaruh saat dewasa. Contohnya sebagian besar orang Indonesia sejak dari kecil makan nasi maka tidak akan merasa kenyang makan apapun kecuali makan nasi. Tentunya hal ini sama dengan pembiasaan mengkonsumsi ikan. Maka dari itu, pemerintah perlu berperan aktif dalam menyediakan sarana dan prasana agar ikan mudah didapat meskipun di daerah pegunungan tentunya dengan harga yang murah. Selain itu, perlunya tips-tips gratis untuk mengelola ikan dengan rasa dan sajian yang unik. Faktor tokoh juga mempengaruhi perilaku masyarakat, alangkah baiknya pemerintah menjadikan beberapa tokoh terkenal sebagai juru kampanya untuk mengkonsumsi ikan dan tokoh tersebut memberikan contoh langsung cara mengkonsumsi ikan sehingga mengubah pola pikir masyarakat bahwasannya mengkonsumsi ikan itu kelas elit.
Penulis: Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Magelang
Oleh: Sihabuddin
Tulisan ini sudah dimuat di Koran Jakarta Edisi 30 Juli 2018
Sebagai negara kepulauan terluas di dunia dan beriklim tropis Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang begitu melimpah. Keanekaragaman hayati Indonesia menempati urutan kedua di dunia setelah Brazil. Sebanyak 5.131.100 keanekaragaman hayati di dunia, 15,3% nya terdapat di Indonesia (sumber: http://news.unpad.ac.id). Salah satu keanekaragaman hayati di Indonesia yang begitu melimpah adalah tumbuh-tumbuhan. Adapun tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di Indonesia banyak sekali macamnya, tergantung melihat dari sisi yang mana. Secara garis besar tumbuh-tumbuhan dibagi dua, ada yang berbuah ada yang tidak, yang berbuah pun ada yang bisa dimakan ada yang tidak.
Buah-buahan yang merupakan salah satu komponen penting dalam menjaga kesehatan tubuh sangat dekat sekali dengan kehidupan manusia. Sehingga pohon buah-buahan sengaja di tanam dipekarangan rumah bahkan di tanam di kebun karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas dan menjadi lahan bisnis. Buah-buahan ada yang sangat populer ada yang tidak. Buah-buahan yang populer buah-buahan yang mudah hidup di berbagai belahan dunia dan dibawa oleh manusia dari suatu wilayah ke wilayah lain. Seperti buah pisang yang merupakan salah satu buah paling populer di seluruh dunia. Buah pisang yang diperkirakan berawal dari Asia Tenggara saat ini sudah mendunia karena buah ini mudah tumbuh di berbagai tempat dan memiliki banyak manfaat. Selain pisang, ada buah kelapa yang diperkirakan dari pesisir Samudra Hindia di sisi Asia, buah mangga yang diperkirakan dari perbatasan India dan Myanmar, buah jeruk yang diperkirakan dari Asia Timur dan Asia Tenggara, Apel yang diperkirakan dari Asia Tengah, Nanas yang berasal dari Brazil, Pepaya yang berasal dari Meksiko, dan buah-buahan lain yang mudah dijumpai di berbagai belahan dunia.
Salah satu ciri khas dari buah-buahan populer ialah memiliki nama tersendiri atau sebutan tersendiri dalam setiap bahasa. Hal ini dikarenakan buah-buahan populer tersebut sudah sangat dekat dengan masyarakat di suatu wilayah tertentu sehingga masyarakat berhak memberi nama sesuai kesepakatan masyarakat di daerah tersebut. Seperti buah pisang dalam bahasa Indonesia yang dalam bahasa Inggris disebut banana, dalam bahasa Arab disebut mauzun, dalam bahasa Mandarin disebut Xiāngjiāo, dalam bahasa hindi disebut kele, dalam bahasa Shawili disebut ndizi, dan nama-nama lain di berbagai bahasa yang berbeda. Begitu pula dengan buah-buahan populer lainnya yang memiliki banyak sebutan di berbagai bahasa.
Buah Lokal Indonesia
Indonesia memiliki banyak sekali buah-buahan lokal yang kurang populer karena kalah bersaing dengan buah-buahan yang sudah medunia. Padahal buah-buahan lokal tersebut tidak kalah rasanya dan khasiatnya dengan buah-buahan yang sudah populer di masyarakat. Bahkan, buah-buahan lokal tersebut rasanya unik karena jarang dikonsumsi. Seperti buah trenggulun, buah-buahan dari pohon yang berduri ini rasanya manis asam bahkan terasa aneh, namun buah yang tumbuh di dataran rendah ini memiliki khasiat untuk meredakan sariawan. Selain trenggulung yang banyak ditemukan di Jawa, ada buah matoa yang merupakan buah asli dari tanah papua. Buah yang rasanya sangat manis ini memiliki aroma yang unik karena aromanya campuran rambutan, klengkeng, dan durian. Memang saat ini matoa sudah mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia, tapi kepopulerannya masih kalah dengan buah-buahan impor yang sudah mendunia.
Selain trenggulun dan matoa, ada buah jamblang yang sulit ditemukan di perkotaan namun tumbuh liar di pedesaan. Jamblang yang memiliki banyak nama di Indonesia sesuai dengan bahasa daerahnya terasa asing bagi orang-orang kota karena buah-buahan ini jarang terdapat di super market, mall, dan pusat perbelanjaan lainnya. Padahal buah ini kandungan vitamin A dan C nya tidak kalah dengan buah yang mudah ditemukan di pasaran. Memang buah jamblang juga ditemukan di negara-negara lain tapi buah ini sangat dekat dengan masyarakat pedesaan sehingga perlu dikembangkan seperti buah-buah lainnya. Selain Jamblang ada buah buni yang namanya agak asing bagi masyarakat Indonesia padahal buah ini memiliki rasa yang unik antara asam dan sepat sehingga enak kalau dibuat rujak serta kaya akan manfaat, buah buni sudah jarang ditemukan di pekarangan karena tidak dibudayakan dan dinilai kurang komersil untuk dibudidayakan. Selain buah-buahan tersebut masih banyak buah-buahan lokal yang kurang populer.
Penyebab kalahnya buah-buahan lokal kalah bersaing dengan buah-buahan yang sudah mendunia karena kurangnya minat orang Indonesia sendiri untuk membeli buah-buahan lokal. Orang Indonesia lebih suka membeli buah-buahan impor karena dinilai lebih mewah seperti anggur, buah pir, strawberry, buah naga, kiwi, cherry, dan buah lainnya. Sehingga para petani atau pekebun yang hidupnya dari menjual hasil pertanian atau perkebunan enggan menanam buah-buahan lokal yang sebenarnya tidak kalah dengan buah-buahan impor karena tidak ada yang membeli dan tidak ada pengepul juga. Selain itu, banyak masyarakat yang belum tahu nama-nama buah-buahan lokal karena jarang ditemui di pasaran. Padahal bisa jadi masyarakat yang belum tahu sangat menyukainya.
Maka dari itu buah-buahan lokal perlu untuk dipopulerkan tidak hanya bentuk buahnya tapi juga khasiatnya agar semakin dikenal oleh masyarakat dan semakin diminati sehingga para petani semangat untuk membudidayakan sebab sudah menemukan pasar untuk dijual. Agar semakin populer, harus mengubah cara pandang masyarakat kalau buah-buahan lokal lebih berkelas dari pada buah-buahan impor. Dengan mengubah cara pandang masyarakat bahwasannya buah-buahan lokal lebih berkelas maka buah-buahan lokal akan dihidangkan di acara-acara penting seperti pernikahan, syukuran, dan acara lainnya. Tentunya juga perlu diiklankan oleh pemerintah di berbagai media ajakan untuk mengkonsumsi buah-buahan lokal sehingga buah-buahan lokal semakin dikenal dan diminati.
Penulis: Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Magelang